Saturday, August 1, 2009


Manusia apapun agama dan keturunannya secara sadar ataupun tidak dia sadari, mereka sangat menginginkan kebahagiaan dan kemakmuran. Bahkan manusia itu sangat khawatir dirinya celaka, rugi dan merana. Namun kebanyakan dari kita berusaha sekeras tenaga dan mengorbankan banyak harta
Dalam memenuhi hasrat umat manusia sebagai khalifa-Nya ini, maka Allah swt Yang Maha Bijak (al-Hakim), Maha Mengetahui (al-Alim), Maha Panyayang (al-Rahiim) itu, telah memerintahkan kita untuk berpegang kepada dua perkara saja, yaitu al-Quran dan sunnah nabi-Nya.
Sejak nabi Adam dan sayidatuna Hawa as diturunkan kemuka bumi, maka bemulalah episode baru dalam kehidupan anak umat manusia, episode kehidupan dunia yang dipenuhi dengan persaingan, persaingan antara yang hak dengan yang bathil dan pertarungan antara akal dengan hawa nafsu.
Manusia cenderung untuk mengikuti hawa nafsunya, karena begitulah diciptakan manusia menyukai perkara-perkara yang dapat menyenangkan dirinya walaupun “terkadang” dia menyadari jika perbuatannya itu hanya menghasilkan kesenangan berifat sementara dan bahkan terkadang dia juga menyaadri bahwa kesenangan yang diraihnya saat ini dapat menyebabkan kesengsaraan bagi kehidupan akhiratnya.
Demi melihat begitu lemahnya hamba yang bernama manusia itu dan jahilnya mereka ini, maka tidaklah cukup akal itu membimbing mereka kearah kejayaan ataupun kesuksesan. Karena akal itu ternyata memiliki kemampuan terbatas dan akal itu ternyata cenderung sering dikuasai oleh sang nafsu sehingga “cahaya mata” akal menjadi redup dan tidak dapat melihat jalan kebenaran dengan baik, dia terkadang tak ubahnya bagaikan seorang yang sedang mabuk, dia tidak dapat berdiri dengan tegak, dan tidak pula dia dapat bertutur dengan betul.
Apabila redup cahaya akalnya dan berkobar api nafsunya, maka mudahlah bagi pemangsa sang Iblis menerkam dan mengunyah keimanannya, jika musnah keimanannya sungguh binatang ternak itu lebih baik dari perangainya.
Allah swt berfirman didalam surah al-Araf ayat ke 179 seperti berikut :
(وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ) (الأعراف : 179 )
Yang bermaksud :
Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. Al-Araf : 179)
Agar supaya fungsi akal itu dapat sempurna, maka diberikanlah kepada manusia “sang khalifah” itu tiga perkara asas yang paling penting untuk keperluan akal fikirannya. Tiga perkara asas untuk menyempurnakan fungsi akal itu sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat diatas sebagai berikut :
Pertama : Hati.
Dengan hati ini, manusia dapat merasakan benar dan salahnya suatu perbuatan atau tindakan, dengan hati itu pula “sang khalifah” dapat menilai.
Hatinya dapat menerbitkan segala keinginan-keinginan ntah itu keinginan yang baik ataupun yang buruk. Dengan hatinya juga manusia dapat melihat sentuhan-sentuhan yang tidak dapat dilihat oleh mata kasar, dengan hati itu pula insan dapat mendengar bisikan-bisikan yang tidak dapat didengan oleh telinga kasarnya.
Hatinya telah membentuk kejiwaannya dan kepribadiannya, jika baik hati itu maka baik pula kejiwaan ataupun kepribadiannya, namun, jika rusak hati itu maka hancur pula kejiwaan dan kepribadian “sang khalifah” itu.
Begitulah pentingnya peranan sang hati bagi keutuhan akal sang khalifah, bahkan pandangan Allah swt hati jugalah tempatnya.
Kedua : Mata.
Untuk membantu hati itu dapat menilai dengan betul dan supaya hati itu tidak tersilap langkah, maka sang khalifah diberikan kepadanya dua mata yang bagus, dan tidak ada mata yang lebih bagus dari kedua matanya.
Dua bola mata yang kecil itu diletakkan diatas sebuah wajah yang baik, maka sempurna pula wajah itu, senang semua orang melihat kearah wajah itu karena mata itu begitu indah mempesona orang yang memandang kearahnya.
Tugas mata itu tidak hanya untuk mempercantik seri wajah “sang khalifah”, akan tetapi itulah dua bola mata yang dapat melihat dunia yang luas, sehingga tidaklah sempit akal yang tersimpan didalam hati itu.
Ketiga : Telinga.
Dengan akal, manusia masih sering tertipu. Dengan mata, manusia masih sering tersilap mata. Maka satu lagi indera atau deria yang mutlak harus dimiliki oleh “sang khlifah” iaitu telinga.
Mata itu ternyata hanya dapat melihat objek sesuai menurut arah mana yang dia liat. Jika seseorang melihat seekor gajar dari sebelah hadapan, maka hati atau akal itu akan berkata “gajah itu berkepala besar dan berbelalai panjang” namun tatkala gajah itu diperhatikan dari belakang, maka sang akal atau hati berkata “Oh gajah itu ternyata tidak berkepala tetapi berekor kecil”. Demikianlah senangnya mata dan hati itu tertipu. Namun dengan telinga, dari arah manapun “sang “khalifah itu berdiri, bahkan tidaklah gajah itu ada dihadapannya ataupun dihadapannya jika gajah bersuara, maka taulah dia kalau itu suara gajah dan bukan suara badak ataupun kuda Nil.
Malangnya ketiga unsur asas ini tetap saja tertipu…
Padahal musuhnya hanya satu…
Iaitu sang nafsu.
Jika nafsu saja yang bermain didalam hatinya, pandangan dan pendengarannya, maka hilanglah kemuliaan “sang khalifah” itu. Walaupun binatang itu lebih “buruk rupa dan keadaannya” jika dibandingkan “sang khalifah”, namun lebih muliah mereka berbanding “sang khalifah” karena binatang sedianya diciptakan untuk memakan rumput dan tidak berlomba-lomba mengejar harta dunia, berbanding “sang khalifah” yang memiliki akal atau hati, namun hati itu tidak dapat membezakan yang hak dari yang bathil, mata itu tidak pernah melihat kebenaran, telinganya tidak pernah mendengar panggilan keimanan. Maka tentulah dalam keadaan seperti ini, manusia itu lebih celaka dari binatang-binatang pemakan rumput itu.
Demikianlah “sang khalifah” sarat dengan kekurangan namun menyombongkan diri (bangga diri), lemah tubuh badan dan akalnya namun menjadi pembangkang yang nyata, pendek umur dan usianya namun panjang angan-angannya, dekat malaikat maut kepadanya namun jauh keinsafan dari hatinya.
Maka Allah swt berpesan setelah diturunkan nabi Adam dan Hawa kemuka bumi, seperti yang dijelaskan didalam al-Quran sebagai berikut :
(قُلْنَا اهْبِطُواْ مِنْهَا جَمِيعاً فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ) (البقرة : 38 )
Yang bermaksud :
Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (Q.S. Al-Baqarah : 38)
Apakah pesan Sang Pencipta itu? Apakah wasiat Yang Maha Bijak itu? Apakah nasehat Sang Maha Mengetahui itu?
“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati"
Jika dia seorang penulis, maka pena dan kertas menjadi curahan hatinya, jika dia seorang nakhoda, maka kemudi menjadi juru selamatnya dan jika dia seorang ahli nujum, maka bintang gemintang menjadi sandarannya, dan jika semua mereka itu adalah “sang khalifah”, maka hanya al-Quran dan sunnah nabi sebagai penjaminnya dan pelipur laranya.
Begitu indahnya janji itu, begitu hebatnya janji itu, “sang khalifah” dijanjikan tidak ada kekhawatiran dan dijanjikan tidak bersedih hati selama bersama kedua.
Rasulullah saw bersabda :
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خلفت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي
Bermaksud :
Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara tidak akan kamu tersesat (celaka) setelah kamu berpegang dengan keduanya, kitab Allah (al-Quran) dan sunnahku. (H.R Daru Qutni dan Baihaqiy)
Padahal, perkara yang sangat tidak disukai oleh “sang khalifah” yaitu rasa khawatir dan bersedih hati. “Sang khalifah“ khawatir akan keselamatan dirinya, keselamatan anak isterinya dan usahanya, begitu juga sang khalifah sangat bersedih hati jika orang-orang telah menzaliminya.
Namun dengan berpegang teguh kepada kedua perkara tadi, Allah swt Sang Pencipta dan Yang Mengetahui itu telah menjamin, sekali lagi telah menjamin “tidak ada kekhawatiran” dan “tidak bersedih hati”.
Maka begitu jelas akan jaminan itu, dan inilah dia cita-cita yang hakiki yang ingin dituju oleh setiap insan, kebahagaiaan dan kemakmuran di dunia dan di akherat.
Maka begitu jelas akan jaminan itu , dan itulah kehancuran jika tidak “sang khalifah” berpegang kepada keduanya, celaka jiwa di dunia dan di akherat.
Maka begitu jelas akan jaminan itu, dan atas dasar apa lagi tidak hendak diri ini bersyukur atas segala nikmat petunjuk ini?!!!

No comments:

Post a Comment